Kritik Kebijakan Pemprov, Pemulung Yakin Bisa Kontrol Sampah Plastik
Mengurangi sampah plastik, Pemprov DKI Jakarta sejak 1 Juli 2020 lalu melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat. Hal ini menuai pro kontra di masyarakat, termasuk dari pihak pemulung. Secara lantang, Ketua Umum Ikatan Pemulung Indonesia Prispolly Lengkong mengatakan jika kebijakan ini keliru karena mengancam mata pencahariannya dan rekan sesama pemulung.
"Hotel dan kafe sudah tidak lagi menggunakan plastik, ini kan salah. Kami anggap regulasi pemerintah salah, saya nyatakan ini salah," tegas Prispolly dalam acara webinar beberapa waktu lalu.
Menurut Prispolly, alih-alih melarang sampah plastik di tempat yang bisa dikontrol oleh pemulung, ia menyarankan pemerintah fokus melarang plastik di tempat seperti area wisata, pantai, cagar alam, atau wisata keramian di mana sampahnya jika tidak terkendali bisa merusak lingkungan.
Selain itu, di tempat tersebut pemulung juga memiliki akses yang sangat terbatas, sehingga tidak bisa mengontrol sampah plastik untuk diambil dan diserahkan kembali ke pabrik daur ulang.
"Kami juga menganggap bahwa kita bisa mengendalikan plastik dengan kegiatan rutin kita, supaya tempat seperti di pantai, wisata itu yang dilarang untuk masyarakat membawa plastik," terang Prispolly.
Oleh Prispolly, kebijakan pelarangan plastik di hotel, restoran, pasar, dan supermarket dianggap menganggu mata pencaharian pemulung. Padahal, ia sangat yakin jika sampah plastik bisa dikontrol oleh pemulung di tempat-tempat tersebut.
"Kalau di hotel, restoran, di kafe, itu terkontrol oleh kami, pemulung. Jadi bisa mensejahterakan kami. Nah, ini kan terbalik, terus ada larangan juga sebagian di mal," ungkapnya.
Prispolly lantas mencurigai, meski pemulung bukan lagi masuk kategori gelandangan dan sudah masuk kategori pekerjaan informal, namun keberadaan pemulung masih kerap tidak dianggap dan pemerintah tidak percaya pemulung bisa mengontrol sampah plastik.
"Sekarang apalagi yang dikhawatirkan? Kita merasa mampu mengendalikan, hanya saja pemerintah tidak percaya dengan sektor informal kami. Secara organisasi terdaftar, tapi pengakuan formal itu belum, ya 90 persen kita sanggup mengendalikan sampah, asal regulasinya bersamaan, berdampingan di daerah perkotaan," tutupnya.